Ketika melihat pembuktian melalui saksi dan saksi itu dilihat dari jenis kelamin maka terdapat perbadaan antara kesaksian laki-laki dan kesaksian perempuan, laki-laki satu orang sedangkan perempuan dua orang. Ketentuan yang mensyaratkan dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu orang saksi laki-laki, atau dengan kata lain bahwa nilai pembuktian saksi perempuan dalam pandangan kaum yang mengusung gender dan kelompok progresif adalah separoh saksi laki-laki lebih merupakan ketentuan yang bersifat kondisional dan temporal, bukan ketentuan yang bersifat universal. Hal yang demikian itu disebabkan karena kaum perempuan pada saat itu masih kurang berpengalaman dalam urusan-urusan publik karena memang budaya yang berlaku menempatkan perempuan untuk hanya berperan dalam wilayah domestik. Oleh karena itu, seiring dengan perubahan sosial di masyarakat yang memungkinkan kaum perempuan untuk terjun dan berperan di berbagai urusan publik, termasuk untuk mendapatkan pendidikan tinggi, berkerja di berbagai sektor lapangan pekerjaan, bahkan untuk menjabat sebagai kepala negara, maka nilai kesaksian seorang perempuan sepatutnya diakui sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Terlepas dari semua itu, dalam menyikapi permasalahan kesaksian perempuan dalam hukum Islam, kita kembalikan kepada ranah pola pemikiran kita, apakah kita berada pada kelompok puritan-ekstrimis yang tekstual dalam memahami norma agama atau menjadi liberal-progesif yang mengeyampingkan legitimasi norma agama tersebut dan mengedepankan sosial dan budaya atau kita menjadi moderat-konservatif yang tetap berpegang kuat dengan tektualitas kemudian mengaktualisasikannya dalam kehidupan sosial dan budaya (al-Akhdzu bil Qadimis Shali Wabil Jadid al-Ashlah) sehingga hukum Islam itu –khususnya dalam masalah kesaksian perempuan- dapat diterapkan kapanpun dan dimanapun (sholihun likulli zamanin wamakan.)
Deskripsi/Abstract
Koleksi
Subject
Files